"SAYA ingin terus sekolah. Ibu saya juga ingin saya sekolah setinggi mungkin. Namun melihat ekonomi keluarga, dan membiayai sendiri, rasanya kami tidak mampu. Apa lagi Bapak sudah meninggal sejak saya masih kecil."
Kalimat itu dilontarkan Dewi Astika, gadis 17 tahun yang saat ini duduk di bangku kelas 11 Jurusan Teknik Mesin SMK Jateng Purbalingga, Jumat, 7 Oktober 2022. Dia anak ketiga dari almarhum Subadni dan Tutiah.
Kakak laki-lakinya yang pertama saat ini merantau jadi buruh di Jakarta, sedangkan kakak perempuannya sekarang menjadi ibu rumah tangga tinggal di rumah bersama suami dan kedua anaknya.
Keputusasaan Dewi menggelayut jelang dia lulus di SMP 2 Kejobong dua tahun silam. Kondisi keluarganya membuatnya hendak mengubur harapan untuk melanjutkan sekolah. Dia pun mencurahkan isi hatinya kepada guru Bimbingan Konseling di SMP-nya hingga diarahkan untuk mendaftar ke SMK Jateng di kota Purbalingga. Dari situlah, seolah ada secercah cahaya menyinari jiwanya tentang masa depan cerah, bisa melanjutkan sekolah.
Baca Juga: Jalur Selatan KA Yang Amblas Sudah Bisa Dilalui
"Awal tahu SMK Jateng dari guru BK SMP 2 Kejobong. Kebetulan ada kakak kelas dan saudara yang juga sekolah di sini, jadi ada gambaran bagaimana masuk ke sekolah ini. Walaupun ada rasa kurang optimistis, sebab saya kan secara akademik kurang pintar," kata gadis asal Desa Nangkod, RT 2 RW 4, Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga ini.
Meski rasa kurang percaya diri, namun dia tetap mencoba mendaftar ke SMK Jateng. Datang ditemani kakak perempuannya ke sekolah itu di Jl Letjen Sudani, Purbalingga Lor, Kecamatan/Kabupaten Purbalingga. Mulai dari seleksi administrasi, dia mengandalkan nilai rapor dan mengantongi surat keterangan keluarga tidak mampu dari desa dan kecamatan. Di tahap ini dia lolos dan lanjut tes akademik dan terakhir yakni tes kesehatan dan psikotes dan dinyatakan lolos.
Kendati demikian, masih ada rasa khawatir apakah dia diterima atau tidak. Namun penantiannya terbayar di hari pengumuman. Dewi mendapat kabar dari kakak kelasnya yang sudah dulu sekolah di SMK Jateng, kalau dia berhasil diterima. Dewi kemudian memberi tahu ibunya kalau dia bisa melanjutkan sekolah. Air mata bahagia ibu dan anak pun pecah.
"Saya bahagia sekali. Ibu juga sangat bahagia karena saya bisa terus sekolah tanpa mengeluarkan biaya. Saya juga cerita ke guru BK di SMP, dia sangat senang," tiba-tiba air mata Dewi menetes mengenang kisah haru dan diusap dengan punggung tangan kanannya.
Baca Juga: Update Banjir Cilacap, Genangan di Jalur Wangon-Cilacap Surut
Kemudian, saat masuk ke sekolah ini, awalnya dia cukup kaget dengan suasananya. Dia mengira sekolah di sini sama seperti pada sekolah umumnya. Ternyata beda. Karena di sini selain mendapat pendidikan formal, juga pendidikan di asrama. Secara akademis, pelajaran yang diberikan saat sekolah mungkin ada persamaan, namun kedisiplinan dan akhlak sangat diutamakan. Dewi juga mengira, kalau tinggal di asrama SMK Jateng ini hanya akan sebagai tempat tinggal kedua, pulang sekolah tinggal tidur. Namun anggapannya itu salah. Ternyata banyak kegiatan membangun karakter yang diberikan oleh pengelola asrama.
"Di asrama ada kebugaran, ngaji bersama, tentoring dan ada sharing, jadi kebersamaan di asrama sangat terasa. Apa lagi yang tinggal di asrama berasal dari kabupaten yang berbeda. Kita jadi bisa belajar dari karakter orang dari berbagai tempat," imbuh Dewi yang baru-baru ini menjuarai lomba news casting presenter dalam bahasa Inggris yang digelar oleh Unsoed Purwokerto dan juara pertama LCT Pramuka di tingkat Korwil.
Saat ini dia masih duduk di kelas 11 jurusan teknik mesin. Harapannya, setelah lulus nanti, gadis yang memiliki hobi menggambar, menulis dan membaca novel ini, ingin bekerja sembari melanjutkan kuliah dengan biayanya sendiri. Dengan demikian, dia tidak lagi menjadi beban ibunya, bahkan bisa membantu meningkatkan status sosial keluarganya.
Senyum bahagia juga tersirat di wajah Tutiah (54) ibunda Dwi. Perempuan paruh baya ini bersyukur karena anaknya bisa sekolah di SMK Jateng di Purbalingga. Bagaimana tidak, selepas suaminya, Subadni meninggal enam tahun silam, Tutiah berjuang sendiri membanting tulang untuk menghidupi anak-anaknya, termasuk untuk sekolah Dwi dari kelas 3 SD hingga kelas 9 SMP.
Baca Juga: Desa Didorong Jadi Subyek Pemulihan Ekonomi Nasional
Artikel Terkait
Soal Penanganan Kemiskinan di Banyumas, LKB dan Navigator Munculkan Enam Rekomendasi
PNM Berkontribusi Dukung Kegiatan Kampus Merdeka dengan Mendorong Inovasi
Hari Ini dalam Sejarah: 28 September, Hari Kereta Api Indonesia
DPR RI Tegas Minta Menteri Nadiem Makarim Untuk Selesaikan Permasalahan Guru PPPK
IGRA Purbalingga Juara Umum Apguraindo Tingkat Jawa Tengah
Lebih dari 1000 Anak TK Ikuti Manasik Haji
Mengenang Peristiwa 30 September, Ini Cerita Ahmad Tohari dalam Tragedi 65
Police Goes To School, Kapolresta Banyumas Jadi Pembina Upacara di Sekolah
Lima Hari Sekolah Diterapkan di Banyumas, Kegiatan Ekstrakurikuler Selain Pramuka Malah Menghilang
Ingatkan soal 'Jas Merah', Buku Sejarah Perjalanan Kota Purwokerto Dibedah