Oleh: Jarot C Setyoko*
MUNGKIN banyak eks aktivis mahasiswa '98 yang telah lupa, atau bahkan merasa tak penting lagi untuk mengingatnya. Tapi bagi saya saat ini -- orang kampung yang sehari-hari hanya belajar menjadi dukun ebeg di kaki gunung, sungguh tak mudah menghapusnya dari ingatan: Empat orang kawan mahasiswa Universitas Trisakti meregang nafas penghabisan setelah diterjang peluru bangsa sendiri. Kemudian Jakarta dan Solo begitu cepat terbakar oleh amarah dan juga oleh api. Hanya berentang dua hari, ratusan gedung dan kendaraan luluh lantak oleh massa yang menjelma amurka. Tak pernah pasti berapa banyak nyawa yang tanggal pada hari itu, berapa banyak yang dinistakan secara rasial, dan berapa banyak lagi yang dizalimi secara seksual.
Bulan-bulan itu, kita masih ingat, Jakarta dan kota-kota besar lain memang begitu riuh oleh protes yang berdengung dari balik pagar kampus. Setelah unjukrasa yang menggemuruh dan melelahkan sepanjang enam bulan, hari itu eskalasi gerakan tengah mendaki klimaks. Namun itu semua tetap tak bisa menjelaskan pada kita, mengapa tragedi itu terjadi di Trisakti, kampus tempat anak-anak ‘borju’ (anak orang kaya dalam bahasa gaul mahasiswa saat itu) berkuliah. Jika para pengawal pemerintah itu berniat memberi efek jera pada pengunjukrasa, mengapa tidak mereka lakukan di kampus yang menjadi jantung gerakan demonstran, misalnya Universitas Indonesia. Toh, unjukrasa di siang itu, juga belum melanggar ’zona merah’ keamanan versi penguasa.
Dua puluh tahun berlalu, kini pertanyaan itu kembali membayang. Di layar kaca kita menyaksikan, peristiwa itu ditayang berulang-berulang, seperti mimpi yang berkelebat dari sisi gelap ingatan kita. Sementara sengkarut misteri yang menyelimutinya tak kunjung terang, di ruang pengadilan juga di meja kekuasaan yang telah sekian kali berganti orang. Dari tahun ke tahun, gaung yang menuntut keadilan atas tragedi itu makin sayup, dan narasi yang tersaji di mata khalayak justeru semakin kabur.
Saya nyatakan demikian karena setidaknya ada tiga hal yang saya catat setelah 20 tahun insiden itu berlalu. Pertama, ada bagian yang hilang dalam tayangan televisi dan bahkan dalam mimbar diskusi yang digelar, bahwa gerakan protes yang memuncak pada Mei 1998 tak bisa di-‘cropping’ hanya pada sepetak jalan di depan kampus Trisakti. tragedi Trisakti hanyalah satu fragmen dalam lintasan panjang gerakan perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.
Sebelum darah tumpah di depan Trisakti, 20 aktivis lenyap dibekap aparat antah berantah. Dua belas orang di antaranya tetap tak terendus nasibnya hingga kini. Empat bulan setelah Orde Baru menyerah, di Semanggi 17 nyawa demonstran adalah harga untuk transisi pemerintahan di bawah Pak Habibie. Setahun kemudian, 11 lembar jiwa kembali menjadi korban ketika mahasiswa menolak UU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Hingga kini, setelah sekian kali Istana Merdeka berganti penghuni, penegakan hukum atas semua tragedi itu masih menyusuri lorong gelap.
Bahkan gerakan mahasiswa 1998 juga tak bisa ‘dikerdilkan’ sebatas yang terjadi di Jakarta. Nyaris tak terkabarkan, ‘pendudukan’ Gedung DPR-MPR Senayan oleh mahasiswa kala itu, sebenarnya hanyalah bagian dari rangkaian pengorganisasian yang telah dilakukan jauh hari sebelum krisis ekonomi menghempas pada akhir 1997. Itikad memperkokoh jejaring mesti dilakukan dari kota ke kota, dengan diam-diam dan penuh rasa was-was. Misalnya, ’hanya’ demi menyepakati penolakan pencalonan kembali Pak Harto sebagai isu gerakan, para aktivis mahasiswa dari segala penjuru Jawa mesti mengendap-endap untuk berkumpul di Jakarta, lantas ke Purwokerto, Jogja, Solo hingga Surabaya.
Kedua, dengan dalih berbagai-bagai yang mengemuka maupun yang malu-malu, kini para eks aktivis mahasiswa nampaknya sengaja membuat peristiwa kelam itu makin tak penting dalam ingatan kolektif kita. Bagi yang berhasil mendaki tangga kekuasaan, barangkali (sekali lagi ini barangkali) peristiwa itu menjadi beban di atas medan politik praktis yang konon selalu involutif bagi ‘cita-cita perjuangan’ (mohon maaf pakai tanda petik), yang dulu terasa ringan mereka teriakkan meskipun di bawah todongan senapan. Bagi yang ‘ketriwal’ dan tercecer jauh dari arena kekuasaan, insiden itu tak lebih dari nostalgia yang pada akhirnya tak mengubah apapun, kecuali mengganti-ganti orang dengan keserakahan yang tetap sama, bahkan lebih masif dan ‘lebih partisipatif’.
Ketiga, pada situasi para eks aktivis ‘berikhtiar melupa’, orang-orang yang dulu tangannya berlumur darah kawan-kawan mereka, melenggang kembali ke arena kekuasaan. Entah di blok yang tengah berkuasa, entah di blok yang menempatkan diri sebagai oposan. Serupa dengan para aktivis yang juga tersebar dalam blok-blok yang saling berseberangan. Maka kini kita menyaksikan formasi yang tak terbayangkan pada 1998 silam: Sekumpulan aktivis bersekutu dengan elit yang pernah menjadi lawannya, untuk menghadapi kawan sesama aktivis yang juga tengah berkongsi dengan eks praetorian yang lain.
Saya sepenuhnya menyadari, gerakan mahasiswa bukanlah variabel independen dari proses perubahan 1998. Krisis ekonomi global atau keretakan internal kekuasaan Pak Harto lebih layak di tempatkan dalam posisi itu. Namun siapapun tak bisa menepis kenyataan, gerakan mahasiswa telah menjelma pedang Drestajumena ketika keadaan membutuhkannya. Saya juga tak berkehendak mengingat peristiwa 1998 sebagai nostalgia, serupa medali yang terpampang di balik kaca bufet.
Saya menuliskan kembali kenyataan sejarah itu sekadar sebagai cara mempertahankan ingatan: Selain darah para kawan yang tertumpah, masih banyak isi orasi para demonstran ’98 yang tetap jauh dari kenyataan. Atau setidaknya sebagai ‘dongeng ngisor ganyongan’ untuk satu-dua orang mahasiswa yang masih sering datang ke rumah saya, di pinggir Kali Kranji, di bawah rumpun bambu Sumampir, kampung kami.(*)
Ditulis Sumampir, Purwokerto Utara 17 Mei 2018
Jarot C Setyoko, Pegiat Budaya dan Politik
Aktivis 98 yang kini tinggal di Banyumas
Artikel Terkait
Politik Diametral
Dukun dan Konsultan PolitIik Mendadak di Pilkades Serentak
Metamorfosa Wajah Pilkades, Dari Tanda Gambar hingga Media Kampanye
Tentang 'Botoh' di Seputaran Arena Pilkades Serentak
Kafala dan Kekerasan Struktural Bagi Pekerja Migran
Masalah Bersama itu Bernama Lost Learning
Perang Rusia-Ukraina: Bola Salju Hubungan Rusia dan Barat
Komunikasi Keluarga Terhadap Pendidikan Anak