Oleh : Alfian Ihsan *
MOMEN Hari Migran Internasional yang diperingati tiap 18 Desember patut menjadi refleksi hingga evaluasi pemerintah ataupun berbagai pihak terhadap implementasi regulasi atau kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Terbalik dan tenggelamnya Kapal Pengangkut 50 WNI di Perairan Johor Bahru Malaysia yang diduga menjadi jalur ilegal masuk pekerja migran non prosedural juga harus menjadi perhatian bersama.
Sementara di Arab Saudi, permasalahan PMI juga masih terus saja terjadi. Mengutip berita dari BBC, 19 Maret 2021, KBRI di Riyadh merinci jumlah total kasus PMI yang kini sedang ditangani.
Ada yang habis kontrak namun tidak dipulangkan oleh majikan (205 kasus), datang ke Arab Saudi dengan visa ziarah/kunjungan lantas dipekerjakan dan terjadi perselisihan dengan majikannya (131 kasus), PMI [pekerja migran] hilang dan tidak ada kabar berita (110 kasus).
Kemudian tidak betah bekerja (100 kasus), habis kontrak namun sisa gaji tidak dibayarkan (97 kasus), maupun PMI kabur dari majikan (594 kasus).
Dari pengalaman tinggal dan bekerja di Arab Saudi, bisa dilihat bahwa salah satu akar masalah dari tingginya pelanggaran hak pekerja migran di Arab Saudi adalah karena adanya imunitas Lokal bagi penduduk pribumi.
imunitas lokal ini mengenai akses untuk memasuki rumah pribadi, bahwa merupakan pelanggaran hukum bagi siapapun yang memaksa masuk ke dalam rumah tanpa izin pemilik rumah, tidak terkecuali bagi petugas kepolisian.
imunitas lokal ini juga mengenai kesetaraan di mata penegak hukum. Bahwa apabila ada permasalahan antara penduduk asli Arab Saudi dengan warga asing maka hukum memberikan posisi pembelaan yang lebih tinggi kepada penduduk asli.
imunitas lokal inilah yang membuat penduduk Arab Saudi mempunyai kebebasan untuk berlaku sewenang – wenang terhadap pekerja domestik di dalam rumahnya. Kesewenang – wenangan ini menjadi semakin terstruktur dengan pemberlakukan sistem Kafala. Sistem Kafala adalah ikatan kerja absolut antara pekerja dan pemberi kerja.
Sistem ini mengikat pekerja secara hukum selama durasi kontrak kerja dengan aturan mengenai hak dan kewajiban ditentukan oleh pemberi kerja.
Sistem ini oleh Internasional Migrant Forum in Asia disebut sebagai bentuk dari perbudakan modern. imunitas lokal dan Sistem Kafala yang berlaku selama puluhan tahun ini menjadi faktor utama bagi apa yang disebut oleh Horkheimer sebagai kekerasan struktural.
Bahwa dua hal tersebut merupakan penjelmaan dari budaya tradisional yang cenderung melestarikan, membiarkan dan membenarkan tatanan sosial yang menindas. imunitas lokal dan Sistem Kafala melanggengkan pola perbudakan yang memang telah mendarah daging dalam budaya masyarakat timur tengah.
Seorang majikan akan melihat pekerja adalah objek yang bisa dieksploitasi secara produktif sebagai nilai tukar atas uang yang telah diberikan oleh majikan.
Horkheimer menyebut fenomena ini sebagai kekerasan relasi produksi. Relasi produksi sarat dengan eksploitasi yang menguntungkan pemilik modal. Relasi ini akan menghasilkan ketimpangan dan ketidakadilan antara pemilik modal dan pekerja.
Artikel Terkait
Mengemas Desa Wisata Cikakak: Antara Daya Saing dan Pelestarian Satwa Kera
Politik Diametral
Dukun dan Konsultan PolitIik Mendadak di Pilkades Serentak
Metamorfosa Wajah Pilkades, Dari Tanda Gambar hingga Media Kampanye
Tentang 'Botoh' di Seputaran Arena Pilkades Serentak