ADA ungkapan, ada satu hal yang paling ditakuti manusia. Apa satu hal tersebut? Satu hal itu bernama perubahan. Perubahan fisik, kuasa, harta, keluarga, prestasi dan lainnya menjadi hal yang selalu dirisaukan manusia. Tak heran, jika berbagai upaya terus dilakukan untuk menjaga eksistensinya, meski kadarnya terus berkurang.
Perubahan jamanpun membuat arena demokrasi tingkat desa bernama Pemilihan Kepala Desa yang lazimnya disebut 'Pilihan Lurah' pun mengalami perubahan wajah. Karena perkembangan jaman, ada perubahan aturan, perubahan sarana prasarana hingga mekanisme lainnya.
Setiap generasi yang tinggal di desa pasti mempunyai pengalaman tersendiri menyaksikan hingga mengikuti Pemilihan Kepala Desa atau Pilihan Lurah.
Bagi generasi 'kolonial', masih bisa mengalami bagaimana Pilkades harus dijalani dengan media sederhana, yaitu 'bithing'. Bithing adalah lidi dari bambu atau lidi pohon aren yang menjadi media petanda suara pemilih.
Pemilih atau warga akan datang diundang pejabat kolonial dan mengambil 'bithing' atau lidi dan memasukan 'bithing' tersebut ke 'bumbung' atau ruas bambu sesuai pilihannya. Untuk bilik suarapun sungguh sederhana dan mereka akan berjalan jongkok mengambil sampai ke bilik.
Baca Juga: Gumbeng dan Krinding, Kesenian Langka Bercorak Agraris itu Masih Lestari di Desa Tlaga, Gumelar
Sementara sang calon kepala desa atau 'jago lurah' akan duduk menunggu rampungnya pemungutan 'bithing' dan penghitungannya dengan duduk lesehan.
Untuk menghindari terik, merekapun hanya menggunakan daun andong yang dipegang manual. Itulah gambaran sebagaimana film Java 1927 yang bisa dilihat di kanal YouTube Eye Film Nederland.
Sementara sesudah kemerdekaan, pemilihan orang nomor satu desa ini terus bermetamorfosis. Di tengah perkembangan alat cetak, media suara sudah beralih menggunakan kertas suara.
Dari kertas suara inilah, tanda gambar untuk tiap calon yaitu berupa hasil bumi benar-benar digambar dalam kertas suara ataupun untuk sarana kampanye.
Baca Juga: Menu Akhir Pekan ini, Resep Semur Jengkol dan Cara Membuatnya...
Ya media kertas dengan cetak manual, stensil, fotokopi ataupun sablon inipun bertahan hingga tahun 2000-an. Pemilih akan memilih tanda gambar hasil bumi mulai dari padi, ketela, kelapa, jagung, kacang, pisang dan lainnya.
Tak heran jika di masa-masa inilah, ungkapan olok-olok antar pendukung calon kades akan terasa sekali. Sebutlah parine gabug (padi puso), budine bosok (ketela busuk) dan ungkapan lainnya untuk menjatuhkan lawan akan bermunculan.
Artikel Terkait
Kejar Herd Immunity Jelang Pilkades Serentak, Dinkes Banjarnegara Minta Tambahan Vaksin
Tanaman Kantong Semar Makin Langka, Pegiat Alam Banyumas Lakukan Konservasi
Mengemas Desa Wisata Cikakak: Antara Daya Saing dan Pelestarian Satwa Kera
Politik Diametral
Pentas 'Metamorfosa Lengger': Membaca Dinamika Seni Lengger
Art Sog 2021 'Huft', Ekspresi Keluh Kesah Perupa Kala Pandemi
Ayo Simak dan Baca ! Buku Max Havelaar Karya Multatuli, Buku yang Membunuh Kolonialisme
Jauh-jauh Datang ke Ajibarang, Ini yang Dikatakan Penyair dari Sulawesi
Di Banyumas, 81 Calon Kepala Desa Akan Bertarung di Pilkades Serentak 15 Desember
Menikmati Greget Rasa Bahasa Penginyongan lewat Novel Ronggeng Dukuh Paruk versi Banyumasan
Dukun dan Konsultan PolitIik Mendadak di Pilkades Serentak