SEORANG lelaki tua kisaran umur 70 tahun datang ke rumah salah seorang calon kepala desa. Usai memperkenalkan diri berniat silaturahmi, setelah itu ia mendo'akan sang calon untuk menang di arena Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak.
Tak hanya itu dengan ilmu perhitungan primbon yang ia miliki, ia meyakinkan kalau sang calon yang lahir pada weton tertentu akan beruntung di tanggal 15 Desember 2021 mendatang. Setelah itu, iapun pamit diri.
Namun sebelum ia dengan terus terang meminta sekadar uang 'petukon mbako' (beli rokok). Tentulah sang calon memberikannya lebih dari itu, karena untuk menjaga citra dan tentu untuk menjaga mulut si 'dukun dadakan' itu agar tak mengumbar berbagai hal jelek diri sang calon.
Cerita itu nyata terjadi terutama jelang ajang demokrasi seperti Pilkades, Pileg dan Pilkada. Tentulah para tingkatan kasta 'dukun' dan konsultan berbeda tergantung ajang pemilu apa yang dihadapi.
Ya, para tukang ojek pun bahkan sampai tahu dan hafal orang-orang yang mendadak muncul mendadak di saat momen Pilkades ini. Karena para dukun Pilkades ini tak jarang yang menggunakan jasa ojek untuk ke rumah sang kandidat, bahkan ada yang memprihatinkan ; jalan kaki.
Sejumlah orang akan menjalankan perannya untuk menjadi 'orang pintar'. Meskipun sang calon kades 'tak membutuhkan' namun mereka akan menjaga dan 'ngopeni' (merawat, mengkondisikan) mereka.
Pasalnya orang-orang tersebut diharapkan tak menganggu proses jalan sukses menggaet simpatik dan suara pemilih. Apalagi dukun dadakan ini dimungkinkan akan berkeliling ke sejumlah rival calon kades lainnya dengan modus yang sama.
Tak hanya 'orang pintar' dadakan, di momen Pilkades kali ini, juga banyak orang yang langsung berperan menjadi konsultan politik. Ada yang benar-benar dengan ikhlas hati berkorban memperjuangkan para calon kades.
Tetapi ada juga yang berperan menjadi konsultan politik dengan 'pamrih' materi. Untuk yang terakhir ini tentulah pemikiran pragmatis lebih dikedepankan.
Mereka akan berkorban menjaga, memberi saran hingga memberikan gambaran peta lapangan Pilkades. Tentulah ketika perannya telah dilaksanakan, mereka akan berbalik untuk bisa dirumat, dijaga dan diperhatikan kebutuhannya oleh calon kades.
Jika kerja mereka tak diapresiasi, maka bukan tidak mungkin mereka justru akan berbalik menjadi pembelot dan memberikan rahasia kabar ke calon lainnya. Namun bisa jadi dari merekapun ada yang bermain di dua kaki, menjadi telik sandi dari lawan calon yang secara kasat mata dibelanya.
Ya, dalam perpolitikan Pilkades yang bisa dikatakan 'face to face' head to head' semua sangat jelas terjadi. Itulah proses demokrasi langsung yang sebenar-benarnya dan sedekat-dekatnya dialami masyarakat sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga sekarang.
Tak jauh berbeda dengan Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Legislatif yang sarat intrik, konflik dan lainnya, Pilkades juga seperti itu, bahkan dampaknya bisa lebih terasa. Apalagi Pilkades menjadi ajang demokrasi langsung yang sudah ada sejak dulu.
Selain logika, logistik, dalam Pilkades hingga sekarang juga masih santer terdengar nuansa mistik yang melingkupinya. Kosakata wahyu 'ndaru' bagi calon kades terpilih, hingga praktik mistik agar calon kades mendapatkan 'bithing' (suara) terbanyak masih terdengar hingga sekarang.
Artikel Terkait
Mengemas Desa Wisata Cikakak: Antara Daya Saing dan Pelestarian Satwa Kera
Politik Diametral
Pentas 'Metamorfosa Lengger': Membaca Dinamika Seni Lengger
Ayo Simak dan Baca ! Buku Max Havelaar Karya Multatuli, Buku yang Membunuh Kolonialisme
Di Banyumas, 81 Calon Kepala Desa Akan Bertarung di Pilkades Serentak 15 Desember
Menikmati Greget Rasa Bahasa Penginyongan lewat Novel Ronggeng Dukuh Paruk versi Banyumasan
Membudidayakan Lebah Madu, Menjaga Siklus Kehidupan dan Penghidupan