Politik Diametral

- Rabu, 3 November 2021 | 14:22 WIB

 

Oleh : Suroto

Dalam memori sosial bangsa ini, terdapat perseteruan politik antara masyarakat tradisionalis dan kaum fundamentalis Islam. Perseteruan ini mewarnai corak politik praktis di Indonesia sampai hari ini.

Kelompok tradisionalis ini, hari ini adalah Islam Abangan yang membawa sinkritisme terhadap ajaran agama agama sebelumnya seperti Hindu, Budha, dan tradisi lainya kedalam Islam sebagai tempat " persembunyian" mereka.

Sementara kelompok fundamentalis Islam membawa ajaran puritanisme syariat Islam.

Dalam kalkulasi politik praktis, secara kuantitatif kelompok Islam fundamentalis jumlahnya dari sejak dulu hampir tak pernah berubah. Sebut saja angkanya jika diperbandingkan dengan Pemilu I tahun 1955 hingga Pemilu 2019, komposisinya sekitar 30 persen.

Sementara kelompok tradisionalis ini hitunganya menjadi lebih besar karena mendapat dukungan dari berbagai kelompok minoritas yang merasa mendapat "ancaman secara Ideologis" dari kelompok Islam Puritan. Jadi hitunganya kurang lebih 70 persen.

Hanya saja, dalam soal afiliasi politik kepartaian, keduanya tetap tidak pernah solid terbelah secara diametral. Partai partai berbasis sayap ormas Islam terbelah menjadi berbagai partai seperti PPP, PKB, PAN, PKS dan lain lain. Sementara kelompok Tradisionalis ini ada di PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Hanura, PSI dan lain lain.

Dalam konteks ini, walaupun partai politik yang ada tidak gambarkan pembelahan kubu secara diametral, tapi strategi politik diametral sepertinya juga digunakan dalam kepentingan politik praktis.

Kepentingan politik praktis yang terjadi ini bahkan menjadi bagian dari tarik menarik kepentingan baik dalam pembentukan opini ataupun kepentingan politik praktis perebutan jabatan.

Sebut saja misalnya dengan munculnya dua kelompok yang disebut Kubu Kampret / Kadrun(kelompok puritan) sebagai vice versa Kelompok Cebong ( Pendukung Pemerintah Jokowi dan Partai Pemenang PDI Perjuangan). politik diametral ini sepertinya terus dipelihara oleh kedua kubu politik.

Bahkan penulis menduga sengaja dimanfaatkan oleh banyak kepentingan. Baik itu oleh politisi yang berkuasa seperti Presiden Jokowi sendiri dan juga berbagai kelompok kepentingan globalis Internasional.

Presiden Jokowi yang tidak berasal dari partai politik tentu perlu tetap menjaga basis pendukungnya. Basis dukungan ini diwujudkan dengan ciptakan para lover ( pecinta) untuk mencounter para hater ( pembenci). Semakin besar dukungan lover, atau setidaknya dominasi opini publik yang diciptakan melalui buzzer pendukung Jokowi akan menjadikan posisi tawar Jokowi di tangan partai pendukungnya menjadi besar.

Dukungan lover yang hampir bisa dibilang sebagai Jokowimania akhirnya ketika dikomodifikasi justru berhasil kendalikan berbagai kekuatan politik yang saat ini nyaris sempurna dalan penguasaan politik di Parlemen.

Bukti terakhir adalah diketoknya UU Ciptakerja yang kontroversial dan memuluskan kepentingan para plutokrat atau elit kaya nasional dan tentu kepentingan kapitalis global.

Halaman:

Editor: Susanto

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Mewarisi Api Guru dari Masa Kebangunan

Selasa, 6 Desember 2022 | 08:46 WIB

Tragedi 27 Juli: Serpih Ingatan Melawan Lupa

Jumat, 29 Juli 2022 | 13:11 WIB

Jalan Berliku 24 Tahun Reformasi

Sabtu, 21 Mei 2022 | 12:13 WIB

Komunikasi Keluarga Terhadap Pendidikan Anak

Jumat, 20 Mei 2022 | 17:27 WIB

Masalah Bersama itu Bernama Lost Learning

Minggu, 23 Januari 2022 | 15:22 WIB

Kafala dan Kekerasan Struktural Bagi Pekerja Migran

Sabtu, 18 Desember 2021 | 12:52 WIB

Tentang 'Botoh' di Seputaran Arena Pilkades Serentak

Selasa, 14 Desember 2021 | 15:50 WIB

Politik Diametral

Rabu, 3 November 2021 | 14:22 WIB
X