Kenapa Perempuan Cenderung Selalu Menjadi Korban Kekerasan Seksual

- Senin, 13 Desember 2021 | 07:15 WIB
Pesantren Madani Boarding School milik Herry Wirawan di Komplek Margasatwa, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung pada Kamis 9 Desember 2021. (SM Banyumas/PR-Mochamad Iqbal Maulud)
Pesantren Madani Boarding School milik Herry Wirawan di Komplek Margasatwa, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung pada Kamis 9 Desember 2021. (SM Banyumas/PR-Mochamad Iqbal Maulud)

BANYUMAS, suaramerdeka-banyumas.com-Secara kuasa, budaya dan konstruksi gender, posisi perempuan yang lemah menjadikan dirinya rentan menjadi kekerasan seksual. Selain itu faktor lainnya juga turut memperparah kondisi ini.

Hal itu disampaikan pengajar Sosiologi Gender Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (FISIP Unsoed) Purwokerto, Dr Tri Wuryaningsih menanggapi maraknya kasus kekerasan seksual untuk siswa, mahasiswa hingga santri akhir-akhir ini. 

Seperti diketahui saat ini yang menjadi sorotan publik antara lain kasus pemerkosaan 12 santri rumah tahfidz Madani Boarding School, Bandung dan juga hebohnya kasus kekerasan seksual yang melibatkan pengurus BEM di Unsoed Purwokerto. 

Baca Juga: Pasca Kekerasan Seksual Santriwati, Menag Turunkan Tim Investigasi Seluruh Lembaga Madrasah dan Pesantren

"Jadi dalam kultur patriarkhi dan ketimpangan gender ini, laki-laki dianggap superior, sementara inferior sehingga perempuan dalam relasi kuasa yang timpang.

Perempuan lemah dan cenderung menjadi korban," jelasnya dalam Diskusi Kekerasan Seksual di Kampus, Minggu malam 11 Desember 2021. 

Tri Wur begitu ia akrab disapa yang konsern mendampingi kekerasan seksual selama puluhan tahun ini mendapati penyebab lain perempuan selalu menjadi kekerasan seksual.

Baca Juga: Info Erupsi Gunung Semeru, Jumlah Korban Meninggal Dunia 46 jiwa dan 9.118 Mengungsi

Selain ketimpangan gender, aturan yang belum jelas mengenai pelecehan seksual. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada hanya mengenal istilah perbuatan cabul.

"Selain itu juga ada hilangnya kebudayaan permintaan persetujuan di antara relasi gender sehingga seringkali ada pemaksaan atau kekerasan seksual.

Memaksa isteri berhubungan seksual saat haid itupun sudah kekerasan seksual atau marital rape. Jadi harus ada persetujuan di antara keduanya," ujarnya.

Baca Juga: Dua Peserta Lomba Dayung Perahu Naga Tenggelam, Satu Meninggal Dunia, Satu Masih Dicari

Terkait hal inilah, ia menyambut baik dengan adanya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.

Selain aturan yang jelas mengenai kekerasan seksual, ia juga mendorong masyarakat bisa mengubah cara pandang terhadap kekerasan seksual ini.

Halaman:

Editor: Susanto

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X