Sosok Cawapres dari NU Masih 'Seksi' Diperebutkan di Pilpres 2024

- Minggu, 14 Mei 2023 | 19:57 WIB
Indaru Setyo Nurprojo, pengamat politik dari Unsoed Purwokerto (SM  Banyumas/Agus Wahyudi)
Indaru Setyo Nurprojo, pengamat politik dari Unsoed Purwokerto (SM Banyumas/Agus Wahyudi)
 
 
PURWOKERTO, suaramerdeka-banyumas.com-Kemenangan pasangan capres-cawapres di Pilpres 2024 mendatang, tidak semata tergantung dukungan pemilih berdasarkan peta  kekuatan wilayah. 
 
Dari tiga capres yang sudah muncul, baik Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Bawesdan harus bbisa memilih cawapres yang tepat, terutama figur yang bisa menambah dan memperkuat dukungan suara.
 
Pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr Indaru Setyo Nurprojo berpandangan, potensi kemenangan di pilpres tidak semata soal penguasaan wilayah, seperti 60 persen pemilih di Indonesia berada di Pulau Jawa. 
 
Kendati demikian, diakui, untuk beberapa lokasi tdak bsa diremehkan dalam pemenangan atau menjadi penentuselisih di kontestasi pilpres.
 
 
"Jadi pasangan cawapres yang akan dipilih penentunya bukan berasal dari wilayah seperti Jawa Timur. Suka tidak suka seperti dari unsur nahdiiyin atau Muhammadiyah masih menjadi penentu pemenangandi pilpres," katanya, Minggu  14 Mei 2023.
 
Secara politis dan sosiologis, basis nahdiiyin (Nahdlatul Ulama), katanya, memang beradadi Jwaa Timur. Namun nahdiiyin juga menyebar di seluruh Indonesia.
 
Dia sepakat, karena basis, Jawa Timur memang menjadi perhatian utama bagi semua tim sukses. 
 
"Kebetulan Jawa Timur itu, basis NU yang sangat fanatik dan kuat dalam tradisi maupun politik ke-NU-annya. Jadi sebagus dan sebesar apapun capres, pasti akan membutuhkan identitas nahdiiyin atau muhammadyah," ujarnya.
 
 
Karena NU dan Muhammadiyah sebagai ormas dengan massa terbesar, nilai dia, pasti selalu dihubung-hubungkan dalam semua proses politik. Sehingga identitas dari dua ormas keagamaan terbesar itu tidak bisa dilepaskan.
 
"Dulu kan perdebatannya milter non militer. Tapi sejak reformasi identitas ini tetap masih kalah pamor dari yang mengidentitaskan dari ormas seperti NU dan Muhammadiyah," terang ketua jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed ini.
 
Hal ini juga didukung dengan sejarah perpolitikan di Indonesia, seperti Pemilu 1955. Kekuaan politik dulunya yang kuat dari nasionalis dan keagamaan (NU). Sehingga labeling ke-NU-an masih dicari, tidak semata untuk kepentingan pilpres, namun juga kontestasi di pilkada.
 
 
"Karena NU begitu kuat, seksi menjadi labeling dalam kontestasi pemimpin, ini memiliki konskwensi logis muncul kader yang mengklaim sebagai orang NU, klaim bagian dari warga NU maupun yang sering muncul di ruang-ruang aktivitas ke-NU-an, juga menjadi klaim mereka bagiian dari keluarga NU," ujar Indaru.
 
Sehingga nama seperti Eric Tohir, Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, Yenny Wahid dan Khofifah Indar Parawansa, kata dia, selalu dikaitkan dengan ke-NU-an.
 
Dia menilai, nama Eric Tohir, secara finansial kuat, belakangan sering muncul tampil di depan dalam ruang-ruang ke-NU-an, seperti saat peringatan Satu Abad NU, dia sempat diberi panggung menjadi maskot.
 
 
"Tapi kelemahannya, dia tidak mengakar. Dia muncul beberapa tahun terakhir dan diberi panggung oleh NU. Saat  jadi menteri  sering dipublikasikan sehingga populer terutama di kalangan anak muda," nilainya.
 
Untuk sosok Mahfud MD, nilai dia, jelas NU,  berasal dari Madura, intelektual dan pemberani. Sososknya sangat dirindukan di Indonesia, karena tegas dalam pelanggaran hukum, masalah korupsi, dan segala ketidakberesan. Bahkan bersebeerangan dengan yang memiliki kekuasaan seperti presiden dan wakil presiden.
 
"Pak Mahfud itu paket komplit. Ibaratnya dia bisa menjadi gawang yang mengawal kepemimpinan ke depan bisa berjalan dengan baik," ujarnya.
 
 
Kelemahannya, nilai dia, saat Mahfud MD naik, para oligarki dipastikan merasa tidak akan diam karena menjadi ancaman ke depan. Terutama yang berhubungan dengan korupsi, pelanggaran hukum maupun pencucian uangSedangkan untuk Muhamin Iskandar (Cak Imin), nilai dia,  memiliki darah biru NU dan sebagai ketua PKB. Namun titik lemahnya, popularitas tidak begitu mendongkrak.
 
Apalagi  kepengurusan Gus Yahya sekarang, katanya, dengan tegas memisahkan antara NU dengan PKB, karena NU tidak boleh berpolitik praktis. Fakta politik yang lain, katanya, saat ini hubungan Cak Imin dengan elit-elit NU sekarang juga tidak begitu mesra. 
 
"Ini menjadi modal penghambat saat Cak Imin jika mendaftar sebagai cawapres, kendatike-NU-annya tidak diragukan," ujarnya.
 
 
Untuk nama Yenny Wahid dan Khofifah, kata Indaru, ini menjadi wacana menarik, karena buuh adanya represenrtasi perempuan dalam kancah kepemimpinan nasional, tidak semata duduk di kementrian.  
 
Indaru menilai, soal kepemimpinan, jejaring dan track record, keduanya tidak diragukan lagi. Untuk Khofifah dianggap lebih unggul karena sudah lama bertarung dalam ruang-ruang kontesntasi eksekutif.
 
"Sehingga sangat ditakutkan saat Khofifah didekati Anies dan kawan-kawannya. Ini jadi bargaining yang strategis, dia tidak bisa diremehkan.  Dia juga masih memiliki hasrat bertarung di wilayah politik masih kuat," katanya.
 
 
Sedangkan Yenny,  modal besarnya adalah sosoknya masih dinilai bersih dan putri Gusdur.   Dalam kurun lima tahun terakhir, citra Yenny juga bagus, tidak memiliki masalah dengan elit-elit NU maupun PKB.
 
"Catatan baiknya, dia dengan Gus Yahya dan Gus Iful juga dekat," ujarnya.
 
Melihat konstelasi tersebut, ada sejumlah caatan yang harus diperhatikan capres Ganjar, Prabowo dan Anies, jika mau merekrut dari kader NU
 
Pertama, seberapa besar  kader tersebut dekat dengan elit-elit NU, ini menjadi modal besar.
 
"Ketika pimpinan (elit) NU dekat dengan mereka, ini akan menyebar ke  kalangan kiai, kader dan warga NU. Dalam pilpres nanti, NU tetap bisa menjadi pendulum yang tidak bisa diremehkan," ujarnya.
 
 
Catatan kedua, lanjut Indaru adalah melihat rekam jejak dari capres yang selama ini seiring dengan  tujuanNU dalam membangun kebangsaan, membangun nasionalisme. NU sangat mendukung proses demokratisasi Pancasila, egalitarian, kekebasan beragama, isu-isu kesetaraan.
 
"Capres Ganjar dan Prabowo, keduanya dari partai berbasis nasionalis, dan Anies sekarang diusung dari partai yang diidentikan kanan, sehingga mereka harus bisa menyesuaikan dengan kondisi NU," sarannya.
 
Untuk partai pengusung Ganjar, kata dia, bagi PDI-P pasti akan memperhitungkan untuk memilih cawapres dari unsur NU. Meskipun di koalisinya ada PPP. Unsur ke-NU-an memiliki peran penting, meskipun  PDI-P bisa mengusung cawapres sendiri.
 
 
"Justru yang menarik di partai pengusung Prabowo, meski ada PKB, jika nanti seperti Golkar, PAN ikut bergabung, maka komprominya pasti ketua-ketua partai tidak mengisi untuk cawapresnya," katanya lanjut.
 
Sehingga Prabowo harus bisa menahan tidak berpasangan dengan ketua partai seperti Erlangga Hartarto maupun Muhaimin Iskanndar.  Prabowo tetap harus mengambil dari luar partai seperti dari NU, meskipun mereka juga menjadi kader partai tertentu.
 
"Pertarungan bakal ramai dan menarik, jika Prabowo berpasangan dengan Mahfud MD, Ganjar-Eric Tohir," ujar dia.
 
Sedangkan Capres Anies, katanya, cawapres yang akan diambil juga harus cermat. Muncul nama Agus Harimurti Yudoyono(AHY) dari Demokrat maupun PKS juga mau mengusulkan nama, dalam politik kekinian, sudah tidak begitu kuat diterima. 
 
 
"Titik lemah ini pasti disadari dari partai pengusung maupun Anies sendiri, dan bisa jadi akan mempertimbangkan mengambil cawapres dari luar partai koalisi mereka. Termasuk mengambil dari unsur NU," katanya.
 
Indaru menegaskan, dalam kontestasi pilpres ini, isu besar yang juga tidak  bisa diremehkan adalah, kemana Jokowi (presiden) akan berlabuh menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ke depan.
 
"Jokowi sangat berpengaruh terhadap siapa yang akan menjadi presiden ke depan, karena dia berkepentingan terhadap kelanjutan IKN supaya tidak menjadi projek mangkrak. Anies dan gengnya dianggap tidak akan memback-up IKN ke depan," kata Indaru.***
 
 
 
 
 
 

Editor: Susanto

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X