Menikmati Candu Buku Lawas...

- Minggu, 22 Agustus 2021 | 08:22 WIB
BUKU LAWAS yang jadi buruan para penggila dan kolektor buku.
BUKU LAWAS yang jadi buruan para penggila dan kolektor buku.

 

"COBA kalau kamu punya buku-buku lama Pram (Pramoedya Ananta Toer) dan mau dijual. Pasti kamu bisa kaya!". Demikian kata teman saya yang kebetulan terpaksa menjadi penjual buku.

Sebagai penjual buku yang 'istiqomah' pasca telat lulus kuliah, teman saya itu tahu benar seluk beluk tentang pemasaran buku. Pernyataan teman saya mungkin tak sepenuhnya benar, tetapi banyak juga hal yang tak keliru.

Ya, selain buku populer, pasar buku saat ini sangat prospektif terhadap buku-buku cetakan lama. Sebut saja, buku lawas. Betapa buku lawas punya daya tarik tersendiri bagi penggilanya. Ya, penggila, saya sebut bagi para pecinta buku.

Baca Juga: Ternyata Ada 13 Julukan Pecinta Buku, Kamu Yang Mana?

Para penggila buku ini rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah, hanya untuk membeli buku buruannya. Buku-buku cetakan pertama, dengan ejaan lama dengan harga yang berlipat ganda dari cetakan terbarunya, punya daya tarik tersendiri. Mereka tidak semata membeli buku, tetapi ‘membeli’ sejarah buku itu sendiri.

Ya, penggila buku ini menikmati candu buku. Segala proses mencari buku ini sungguh sering tak masuk akal. Di jaman kolonial (untuk menyebut sebelum digital), para penggila buku akan berkeliling dari lapak buku satu ke lapak buku lain. Mereka akan menyimpan nomor telepon si penjual buku hingga kolektor buku.

Mereka rela menunggu ada buku incarannya tersedia, atau ketika ada orang yang melepasnya. Di jaman serba digital saat ini, mereka akan mencari di toko-toko online, menghubungi komunitas buku, dan media sosial lainnya. Mereka bahkan akan menawar harga dan merayu pemilik buku lawas untuk menjualnya.

Baca Juga: Sastrawan Budi Darma Meninggal Dunia

Dasar penggila buku. Merekapun akan melaksanakan segala cara untuk membeli buku itu. Menyisihkan gaji, mengurangi jatah belanja isteri hingga berhutang kepada teman rela dilakukan demi mendapatkan buku itu. Merekapun tanpa disuruh akan bercerita betapa cantik dan menarik, sebuah buku buruannya.

Usai mendapatkan buku itu, biasanya mereka akan memandangi hingga membaui sampul buku lawas itu sambil tersenyum-senyum. Padahal seringkali buku lawas itu telah dalam kondisi lapuk, geripis di sana sini. Bahkan mungkin telah kena kencing tikus hingga membuat lembarannya bergelombang. Tapi, pecandu buku tak peduli.

Lebih dari itu, mereka akan bercinta dengan buku itu. Menghabiskan waktu untuk membaca. Berulangkali tak bosan membuka lembar demi lembar buku. Ya, mereka seperti tersedot ke dalam buku yang mereka pegang dan baca. Tak heran jika, Mohammad Hatta hingga Tan Malaka rela bersusah payah membawa peti berisi buku ke dalam penjara, persembunyian hingga pengasingannya.

Baca Juga: Berbasis Teknologi Informasi, 'Demit' Dermaji Terus Berinovasi 'Menjual Diri'

Gila buku para pendiri bangsa ini menjadi contoh ideal, betapa buku telah menjadi bagian dari jiwa raga mereka. Betapa buku yang berisi berbagai pengetahuan, seperti kota amunisi para prajurit. Mereka menyadari dari buku-buku itulah mereka mendapatkan pengetahuan dan menguatkan keyakinan terhadap apa yang patut diperjuangkan dalam hidup. 

Rupanya, penggila buku lawas inipun sedikit banyak juga terpengaruh dengan cerita-cerita pendiri bangsa yang tak jauh dari buku. Betapa pengetahuan modern a la Barat selalu dikaitkan dengan buku. Pasca penemuan mesin cetak Guttenberg, pengetahuan hingga agama menjadi multitafsir. Betapa pengetahuan yang menjadi penentu kuasa, bisa terdistribusi lebih luas tidak hanya kepada kaum elit an sich. Ya, di era sosialis dan kapitalis, jaman kolonial hingga milenial sekarang ini  peran buku begitu nyata.

Halaman:

Editor: Susanto

Tags

Terkini

X