BANYUMAS, suaramerdeka-banyumas.com - Pertunjukan kesenian ebeg selalu mendapat apresiasi dari masyarakat Banyumas.
Mereka berbondong-bondong menonton tarian yang bergerak secara selaras dan kompak satu sama lain sesuai ritme alunan musik gamelan. Biasanya pemain ebeg terdiri dari 5 hingga 8 orang yang menari.
Melansir laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, pementasan tari ebeg terdiri dari empat pembabakan (fragmen), yaitu fragmen buto lawas yang dilakukan 2 kali, fragmen senterewe, dan fragmen begon putri.
Selain menonton tarian wayang, sebutan pemain ebeg, masyarakat sangat menunggu ketika masuk fragmen janturan, di mana para penari mengalami kerasukan dan hilang akal.
Para penari mendhem/wuru dengan memakan dedauanan, bekatul (pakan ternak), serta memakan benda tajam lain, seperti pecahan kaca.
Baca Juga: TGIPF: PSSI dan Sub Organisasinya Harus Bertanggung Jawab
Namun, dibalik pertunjukan itu, kesenian ini memiliki histori yang melambangkan sikap ksatria.
Kesenian ebeg yang berkembang di daerah Jawa Tengah khususnya wilayah Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen bercerita tentang ksatria yang berlatih perang (Pangeran Diponegoro).
Kesenian ini telah berkembang sejak meletusnya perang Diponegoro (de java oorlog, 1925-1930). Pemain ebeg menari dengan diiringi gamelan. Tarian ini sejatinya melambangkan dukungan rakyat terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan imperialisme kolonial Belanda.
Kesenian ini pada dasarnya membawa pesan yang baik yaitu tentang imbauan kepada manusia agar senantiasa melakukan kebaikan dan ingat kepada Sang Pencipta.
Tarian ini dipentaskan di tempat yang lapang dan terbuka. Peralatan yang penunjang kesenian ini antara lain gendhing pengiring, terdiri dari kendang, saron, kenong, dan gong.
Selain itu, instrumen yang digunakan penari antara lain kostum dan kuda yang terbuat dari bambu (ebeg).
Baca Juga: Temuan TGIPF Tragedi Kanjuruhan, Proses Jatuhnya Korban Lebih Mengerikan di CCTV
Sesaji (uba rampe) yang disediakan untuk pertunjukan ini antara lain bunga-bungaan, pisang, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dan lain-lain.
Artikel Terkait
UNESCO Akui Gamelan sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Pameran Seni Rupa Gregah: Merekam Dinamika Perupa 'Ngapak' di Jagat Seni
Larasatun Punya Julukan Woro Cengkir Gading, Berdedikasi Tinggi Terhadap Seni
Empat Lukisan Terjual di Pameran Seni Rupa 'Gregah', Nilai Transaksi Capai Belasan Juta