KECAMATAN Maos, Kabupaten Cilacap menjadi salah satu bagian lumbung pangan di Jawa Tengah bagian selatan. Terletak di sebelah timur Sungai Serayu, wilayah Maos dengan hamparan sawah seluas 3.778,70 hektare ini mampu menghasilkan padi 25.261 ton padi sekali panen.
Meski demikian sejak beberapa tahun terakhir, keberlangsungan predikat lumbung pangan ini terancam. Keberadaan aliran air irigasi teknis dari Sungai Serayu, tak seluruhnya menjangkau lahan sawah yang luas tersebut. Akibatnya tiap kemarau datang, sebagian sawah termasuk yang berada di Desa Kalijaran berubah status menjadi sawah tadah hujan.
"Dua hari tak teraliri air, di sini sawah sudah terlihat retak-retak. Paling hanya rumput yang tumbuh saat kemarau," jelas Ketua Gapoktan Margo Sugih Desa Kalijaran, Priyatno.
Dengan jarak yang jauh dari saluran irigasi teknis inilah, 2.000 meter persegi sawah milik Priyatno sering kering. Pernah beberapa kali mencoba meminta tetangga petani untuk berbagi air. Namun yang didapatkan bukanlah air, tetapi keributan antar petani.Tak heran jika fenomena 'angkat pacul', perkelahian antara petani gara-gara rebutan air sering terjadi.
Baca Juga: Waspada, Menkes Prediksi Kasus Covid-19 Subvarian XBB Capai 20 ribu Kasus per Hari
"Kadang bisa ngambil (air) dari sawah, tapi kalau sawah lain sama-sama sudah menggunakan air, airnya tidak boleh dilewatkan, nanti ramai jadinya malah bisa ngangkat pacul," ungkap bapak satu anak yang akrab disapa Gopri.
Kesulitan air yang dihadapi petani membuat mereka hanya menanami lahan saat musim hujan. Pada saat kemarau tiba, petani tadah hujan memilih mengistirahatkan lahan, situasi itu membuat produktifitas lahan tidak maksimal, yang berpengaruh pada pendapatan petani.
"Maka untuk menghindari 'ngangkat pacul' ini kita berpikir, jadinya ngalah pakai pompa (genset)," katanya.
Dengan kondisi inilah, sejumlah petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Margo Sugih Desa Kalijaran, terpaksa harus berkorban pikiran, tenaga, waktu dan biaya yang tak sedikit untuk mengairi sawah tadah hujan di musim kemarau.
Baca Juga: Residivis Komplotan Curanmor Diciduk
"Kami terpaksa menggunakan pompa air dengan tenaga listrik dari genset untuk menyedot air dari sungai yang jaraknya cukup jauh. Satu musim tanam, saat harga BBM (Bahan Bakar Minyak) masih Rp 7.650 satu liter saya butuh biaya Rp 700 ribu, hanya untuk menyedot air. Kalau sekarang, ketika harga BBM naik bisa dihitung berapa biayanya," ucap Arjo Suwito (70), petani Desa Kalijaran.
Selain biaya BBM yang tinggi, penyiapan alat genset dari awal hingga air mengalir juga membutuhkan waktu yang lama.
"Satu jam persiapan dari membawa pompa ke lokasi, memasang selang air dari sungai ke sawah sejauh 180 meter, kemudian air baru keluar. Satu jam pompa menyala, butuh satu liter bensin, itu bertahun-tahun begitu," tuturnya.
Energi Baru Terbarukan
Situasi tersebut berubah, ketika tahun 2020, Gapoktan Margo Sugih menerima sumbangan pompa air tenaga surya dari Pertamina Foundation. Pompa air tenaga surya merupakan karya dari akademisi Politeknik Negeri Cilacap (PNC) Afrizal Abdi Musyafiq.
Artikel Terkait
Puncak Kenaikan Konsumsi BBM Diprediksi H-1 Lebaran, Pertamina Jamin Pasokan Aman
Pastikan Stok BBM Aman, Pertamina Siapkan SPBU Kantong
Pertamina Jamin Stok BBM Aman untuk Arus Balik Mudik Lebaran
Paguyuban Pertashop di Jateng Barat Desak Pertamina Perketat Penyaluran Pertalite
Pasokan Pertamina Masih Normal, BBM Pertalite di Purwokerto Sulit Dicari, Sering Pembeli Antre Mengular
Ceceran Minyak di Dermaga Wijayakusuma, Pertamina: Penyebabnya Masih Diselidiki
Selamat, Kampoeng Kepiting Kutawaru Binaan Pertamina Cilacap Raih Satria Brand Award 2022
Pipa BBM Pertamina Bocor di Jeruklegi Cilacap
Pertamina Gerak Cepat Lokalisir Area Terdampak Rembesan Proyek Pipa BBM Bocor di Cilacap
Angkat Tema Energi Untuk Bangkit Lebih Kuat, Pertamina Gelar Upacara HUT RI di Kilang Cilacap