Pria asal Banjarnegara ini mencontohkan, saat pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp 14.000, maka perlu ada ketegasan.
Menurutnya, pemerintah perlu menindak tegas perilaku spekulan yang menimbun komoditas ini.
"Kalau dilanggar, (pemerintah) berani cabut izin ekspornya. Misal kebutuhan minyak goreng 5,7 juta liter per tahun atau ambil dari data Bappenas tahun 2021, yang mencapai 3,22 juta liter. Untuk menghasilkan itu, maka CPOnya berapa. Sekian persen harus dialokasikan ke dalam negeri," jelasnya.
Baca Juga: Hebitren dan BI Dorong Kemandirian Ekonomi Pesantren
Di sisi lain, kebijakan PPKM level 2-4 juga turut menghambat distribusi komoditas.
Hal ini harus diatasi dengan membuat prioritas khusus untuk barang kebutuhan pokok agar saluran distribusinya tidak terganggu.
Adapun untuk solusi jangka pendek, pemerintah memang harus melakukan Operasi Pasar. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukan terus menerus atau dalam jangka panjang.
"Penegakan hukum bagi pelaku penimbunan. Seringkali setelah operasi ada temuan, tindak lanjut terhadap pelakunya juga tidak jelas," imbuh pengajar mata kuliah Manajemen Pemasaran ini.
Baca Juga: Soal Migor dan Kedelai, Kemendag dan Kementan Perlu Bersinergi
Di masa sekarang, kata Suliyanto, masyarakat sangat tergantung pada minyak goreng pabrikan. Padahal, sekira 10-20 tahun silam, banyak industri rumahan yang menghasilkan minyak goreng dari kelapa dan kopra.
Artikel Terkait
Timbun Minyak Goreng, Distributor Akan Diberi Sanksi Keras
Kelangkaan Minyak Goreng: Pemkab Banyumas Segera Gelar Operasi Pasar
Soal Minyak Goreng, Dinperindag Banyumas: Stok Masih Ada, Tidak Perlu Panic Buying
Warung Desa Masih Rasakan Kelangkaan Minyak Goreng
Pemkab Cilacap Gelontorkan 10.800 Liter Minyak Goreng dalam Operasi Pasar
Operasi Pasar: Minyak Goreng Diserbu Emak-emak, Ludes dalam 15 Menit
Sidak Minyak Goreng Di Purbalingga, Di Rak Etalase Kosong, Di Gudang Menumpuk