Sejarah Desa Tlaga: Menguak Cerita Eyang Ajeng, Penari Lengger Pertama di Desa Tlaga, Gumelar (2-habis)

- Sabtu, 8 Oktober 2022 | 05:23 WIB
GUMBENG: Grup seni Gumbeng Yaka Laras Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar saat memainkan alat musik gumbeng beberapa waktu lalu.(SM Banyumas/dok Ds Tlaga) .
GUMBENG: Grup seni Gumbeng Yaka Laras Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar saat memainkan alat musik gumbeng beberapa waktu lalu.(SM Banyumas/dok Ds Tlaga) .

 

BANYUMAS, suaramerdeka-banyumas.com- Seni lengger ataupun ronggeng tak lepas dari sejarah seni budaya wilayah Banyumas termasuk di Desa Tlaga Kecamatan Gumelar

Bahkan kesenian lengger ini merupakan kesenian wajib yang harus dipentaskan dalam peringatan apapun. Sedangkan kesenian yang lain menjadi sebuah sunah. Menurut mantan kepala Desa Tlaga, Amin Ismaraton, kesenian lengger ini pertama kali dibawa ke Tlaga oleh Eyang Ajeng.

Eyang Ajeng adalah adik dari Eyang Ranukertawijaya yang menjadi penari lengger pertama di Desa Tlaga. Eyang Ajeng menyusul, selepas Eyang Rebo pergi dari Selogiri. Sementara kedua teman Eyang Rebo pindah ke Karangdelima (Sekarang wilayah desa Petahunan, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas).

Baca Juga: Sejarah Desa Tlaga: Menengok Suran di Tlaga, Warisan Tradisi Bijak Bestari Pendiri Desa (1)

Sebagai lengger, Eyang Ajeng sangat terkenal di mana-mana. Bahkan ia sering ditanggap di daerah Pegadungan, Sunda. Bahkan ada cerita selepas ditanggap, Eyang Ajeng diberikan hadiah oleh seseorang berupa pakaian harimau. Konon ceritanya ketika Eyang Ajeng mengenakan pakaian tersebut Eyang Ajeng bisa langsung berubah wujud menjadi harimau. 

Orang setempat menyebut bahwa yang memberi pakaian harimau tersebut bukanlah lurah bangsa manusia, melainkan bangsa “mejajaran” makhluk serupa manusia tapi bukan manusia.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat mejajaran merupakan makhluk serupa manusia tapi tidak mempunyai tungkai kaki dan lekuk dibawah hidung serupa manusia. Dulu hingga sekarang bekas tapak kaki merekapun sering masih kelihatan di hutan-hutan setempatdan sejumlah wilayah perbukitan di wilayah Banyumas bagian barat.

Baca Juga: Peringati Maulid Nabi, Siswa SMP 8 Purwokerto Bagikan Ribuan Takir ke Masyarakat

Terlepas dari semua mitologi tersebut, kenyataannya sampai sekarang di Tlaga masih eksis berbagai seni budaya lokal setempat. Untuk lengger sendiri, telah turun temurun merupakan warisan dari keluarga. Eksisnya lengger tersebut dimungkinkan juga tidak lepas dari cerita lengger pertama di Tlaga alias Eyang Ajeng.

Sampai sekarangpun Lengger Tlaga sering ditanggap oleh orang Cilacap, dan Brebes. Dalam slametan suran, pentas lengger adalah hal yang wajib. Kewajiban ini sebagai penghormatan dan darma bakti kepada Eyang Ranukertawijaya dan Eyang Ajeng.

Kepercayaan terhadap laknat dan prahara karena melupakan sesuatu yang gaib di luar dirinya merupakan sarana kendali masyarakat yang gaib dan sakral itulah yang membuat kelestarian dan keaslian budaya dan tradisi setempat tetap terjaga.

Baca Juga: Jelang Verifikasi Faktual, Ini yang Harus Disiapkan Parpol Sebelum Didata Petugas KPU Banjarnegara

Adanya mitologi Eyang Ajeng sebagai leluhur para lengger di Desa Tlaga semakin mengokohkan posisi lengger di masyarakat. Sebagai masyarakat agraris, masyarakat Tlaga juga tidak bisa lepas kesenian bentha-benthi atau rinding. Rinding merupakan upacara dalam rangka meminta hujan. Sampai saat inipun ketika kemarau berlangsung lama, seni bentha-benthi alias rinding dipentaskan.

Halaman:

Editor: Susanto

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Pengikut Aboge Mulai Puasa Ramadan Jumat Wage

Rabu, 22 Maret 2023 | 16:29 WIB
X