BANYUMAS, suaramerdeka-banyumas.com- Tlaga sebuah desa di ujung barat Kecamatan Gumelar dan berbatasan dengan Kabupaten Cilacap dan berjarak 45 kiometer dari Kota Purwokerto merupakan desa yang unik.
Di desa ini masih lestari sejumlah kesenian tradisional yang di desa lain telah punah, seperti Sintren, Bentha benthi, krinding, gumbeng dan lainnya. Tlaga yang menjadi bagian administrasi satu dari 10 desa di Gumelar ini juga terdapat kesenian yang masih umum yaitu ebeg, lengger, thek-thek atau kenthongan.
"Hingga sekarang masih terjaga kesenian tersebut. Jadi di sini masih ada lebih dari enam seni budaya tradisional yang erat kaitannya dengan budaya agraris di sini. Misalnya krinding yang biasanya dulu dimainkan anak-anak saat musim panen," kata Riswoto Kepala Desa Tlaga.
Baca Juga: Peringati Maulid Nabi, Siswa SMP 8 Purwokerto Bagikan Ribuan Takir ke Masyarakat
Namun di antara tradisi dan seni yang lestari di desa ini, yang paling kolosal dari tradisi atau ritual adat di Desa Tlaga adalah ritual Suran. Di desa dengan luas 784 hekter dan separuhnya merupakan kawasan hutan milik warga dan Perhutani ini, ritual Suran menjadi ritual rutin bagi warga desa setempat.
Dari ritual atau tradisi inilah, semangat dan wujud gotong royong warga setempat terlihat. Setiap ritual Suran yang merupakan ritual di awal Bulan Hijriyah atau Bulan Jawa ini, mereka tak ketinggalan memotong seekor kerbau. Suran adalah sarana penghormatan dan wujud bakti kepada leluhur Tlaga.
Ritual Suran ini tidak lepas sejarah desa Tlaga. Tersebutlah nama Eyang Rebo atau Eyang Ranukertawijaya. Ialah orang pertama yang membuka hutan menjadi desa Tlaga.
Baca Juga: Jelang Verifikasi Faktual, Ini yang Harus Disiapkan Parpol Sebelum Didata Petugas KPU Banjarnegara
Bahkan ada yang percaya kalau kepemimpinan atau ketokohan masyarakat di desa setempat masih erat kaitannya dengan Eyang Rebo beserta keturunannya. Tak heran jika beberapa periode tampuk pemerintahan Desa Tlaga ataupun lainnya dikaitkan dengan keturunan Eyang Rebo.
Amin Ismaraton, Mantan Kepala Desa Tlaga yang menurut penduduk setempat masih keturunan ke -13 dari Eyang Ranukertawijaya menceritakan identitas Eyang Rebo atau Ranukertawijaya. Menurutnya Eyang Rebo ini berasal dari Selogiri (Sekarang masuk Wonogiri) dulu masih termasuk Kerajaan Mataram Islam.
Karena bangsa “mata kucing” telah mulai melanglang ke Jawadipa yaitu Mataram, maka Eyang Rebo bersama kedua orang temannya yaitu Eyang Mimbar bersama isteri, Eyang Rentug bersama isteri memberontak.
Baca Juga: Sungai Cironeng Meluap, Jalur Cilacap - Wangon Tergenang
Diceritakan bahwa mereka pindah dari Selogiri menuju ke barat yaitu daerah Panggungwangi. Panggungwangi adalah tempat pertama kali Eyang Ranukertawijaya singgah dan akhirnya dimakamkan. Panggung wangi ini la yang nantinya berkembang menjadi Dukuh Tengah karena merupakan letaknya di tengah dan kelilingi oleh hutan.
Karena di Panggungwangi ini terdapat banyak telaga maka suatu saat kemudian desa ini dikenal dengan nama Tlaga. Sedangkan untuk menenangkan diri dan semadi mendekatkan diri kepada Sang Hyang Tunggal, Eyang Ranukertawijaya menyepi di sebuah tempat yang kelak dikenal dengan Candi Banyumudal. Tempat inipun sampai sekarang masih terjaga dengan baik.
Artikel Terkait
Gumbeng dan Krinding, Kesenian Langka Bercorak Agraris itu Masih Lestari di Desa Tlaga, Gumelar
Keren, Penghulu KUA Mrebet 2 Menikahkan Pengantin asal Texas AS Menggunakan Tiga Bahasa
Menara Babel, Kisah di Mana Pada Mulanya Bahasa Manusia Hanyalah Satu Kemudian Menjadi Beragam
Ini Lima Kosakata Bahasa Indonesia yang Terdengar Kasar bagi Penutur Bahasa Rusia
Masyarakat Diajak Sumbang Kosakata Daerah Untuk Memperkaya Bahasa Indonesia
Tahukah Kamu? Jumlah Penutur Bahasa Indonesia Ada 199 Juta, Tersebar di 47 Negara Dunia
Tahukah Kamu: Banyak Toponimi Desa Berawalan Ci, Bukti Banyumas- Cilacap 'Terjajah' Sunda
Penggunaan Bahasa Asing Untuk Toponimi Geser Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia